Selasa, 15 Maret 2011

Sekilas Tentang Naskah Kuno dan Ulama-ulama di Serambi Alam Sungai Pagu (Solok Selatan)

Oleh: Apria Putra
Tulisan ini merupakan hasil penelusuran Penulis dan Tim Filologia, menelusuri Solok Selatan pada 22-24 April 2010

A. Keadaan Naskah Keagamaan di Sumatera Barat dewasa ini
Sumatera Barat, secara sosio kultural merupakan wilayah Minangkabau, telah menoreh tinta emas dalam perjalanan Islam di nusantara. Masih menjadi buah bibir hingga saat ini bahwa negeri ini, Minangkabau, sejak dulu kala telah menjadi gudang ulama. Banyak terbilang nama-nama besar ulama lahir dari negeri ini, hal ini memberikan kesan kuat bahwa memang aktifitas keagamaan (baca: Islam) memang sangat semarak di Minangkabau sejak dulunya. Walaupun zaman renaisans, ke-gemilangan Islam, meminjam istilah Azra, telah memudar akibat beberapa faktor, namun beberapa bukti kuat tentang kejayaan Islam masa lalu masih dapat kita lihat hari ini, meski tak tinggal seberapa, seperti ulama-ulama pewaris alim ‘allamah masa lalu, surau-surau besar dan naskah-naskah hasil fikiran tokoh-tokoh cemerlang itu. Mana yang tinggal inilah yang mestinya (harus) diwariskan kepada generasi muda, agar filter (jati diri) tetap terjaga, agar adat basandi syara’-syara’ basandi Kitabullah tetap menjiwai orang-orang Minang.
Salah satu karya gemilang intelektual Islam masa lalu ialah naskah-naskah, hasil-hasil buah fikiran ulama yang tertuang dalam bongkahan kertas-kertas tua yang lapuk. Berbicara mengenai naskah-naskah di Minangkabau, niscaya kita tidak akan terlepas dari dua aspek lainnya, yaitu Ulama, sebagai penulis dan penuang gagasan; dan Surau, sebagai tempat transmisi keilmuan Islam dan hasil pikiran dari tokoh-tokoh ‘alim.
Salah satu karakter ulama silam yang paling menonjol ialah keperangaran mereka. Sudah diteorikan bahwa tidak ada satupun ahli metafisik Islam yang tidak menulis, walaupun hasilnya tak seberapa, namun penuangan tulisan amat mesti. Apalagi ulama-ulama yang tergolong dalam tokoh-tokoh Tasawwuf, maka menulis merupakan salah satu bentuk pengungkapan dzuq (rasa, raso-Minang). Walau untuk bidang-bidang lain, seumpama Fiqih, Tauhid, Ushul, Tafsir, Sintax (nahwu-sharaf) dan lainnya juga ramai ditulis, namun untuk Tasawwuf (Tharekat) menepati jumlah istimewa dalam khazanah keilmuan Islam di Minangkabau khususnya.
Kemudian lewat surau-lah terbentuk tradisi keilmuan Islam tersebut, di mana seorang ulama berpengaruh mengajar keilmuannya kepada orang-orang siak dari berbagai daerah. Sehingga buah fikiran dari sang syekh sendiri dapat diwarisi dengan baik kepada generasi muda, dalam hal ini ialah murid-murid Syekh sendiri. Kebanyakan dari buah fikiran yang diwariskan itu terekam jelas dalam lembaran naskah-naskah tulisan tangan, dan untuk sebahagiannya telah ada pula yang dicetak untuk kalangan sendiri. Dan kebanyakan naskah-naskah itu menguraikan ajaran-ajaran Tasawwuf tingkat tinggi, yang biasanya menjadi pengajian tersuruk (kaji tersembunyi) bagi sebahagian kalangan guru-murid, biasanya setelah prosesi bai’at dalam sebuah tarikat.
Naskah-naskah untuk kategori Tasawwuf tersebut sangat sulit untuk diakses kalangan banyak, sebab sulitnya prosesi yang mesti dilalui seseorang untuk melihatnya ataupun memilikinya. Kelangkaan ini menjadikan naskah tersebut menjadi barang mahal. Salah satu cohtoh dari naskah-naskah “tersembunyi” itu ialah Kitab Tahqiq Syekh Burhanuddin Ulakan, sebuah kitab yang disinyalir sebagai tulisan dari Syekh Burhanuddin sendiri. Menurut keterangan yang diperoleh bahwa naskah ini pernah dilihat oleh Alm. Adam Malik dan Hamka. Bagi siapa yang ingin melihat aslinya mestipula mengikuti serangkaian ritual dipimpin oleh Tuanku di Ulakan sendiri. Dari informasi yang diperoleh, bahwa naskah tersebut terbilang istimewa. Diantara syekh-syekh Syathariyah sendiri ada yang telah menyalin ala kadarnya kemudian diterbitkan sebagai panduan khusus murid-murid dari tharikat Syathariyah itu. Salah satu salinan yang diperoleh oleh Tim ialah salinan Syekh Sidi Jumadi Padang Sarai Koto Tangah. Salinan itu kemudian diterbitkan di Padang Panjang atas jasa penerbit Tandikek tahun 1926. secara fisik naskah tersebut masih baik, terdiri atas 9 teks. Satu dua teks itu anonim, tanpa penyebutan penulis (muingkin inilah yang ditulis Syekh Burhanuddin), beberapa teks lainnya jelas merupakan karangan Syekh Abdurra’uf Singkel dan ditutup dengan Sya’ir yang cukup panjang membahas martabat tujuh. Naskah ini menjadi barang langka dan sangat sulit diakses saat ini.
Penelitian yang telah dilakukan memberikan gambaran betapa banyaknya naskah-naskah karya ulama-ulama di Sumatera Barat. Salah satunya di tahun 2003, atas kerjasama Fak. Sastra Unand dengan Tokyo University of Foreign Studies (Jepang) menerbitkan katalog manuskrip Minangkabau dengan judul Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau. Hasil inventarisasi yang dilakukan tersebut setidaknya mencatat lebih dari 300 manuskrip yang terdiri dari surat-surat, Tambo Minangkabau, kaba-kaba Minang dan naskah-naskah keagamaan (Tauhid, Fiqih, Tasawwuf, Sintax, Tafsir dan lainnya). Naskah-naskah berada di tangan masyarakat dan lembaga-lembaga tertentu, tersebar di hampir setiap pelosok Sumatera Barat, seperti di Taram, Suliki, Sumani – Solok, Batang Kapeh, Bayang, Lunang, Inderapura, Bintungan Tinggi, Tandikek, Batang Kabung dan lainnya. Begitupun yang oleh lembaga-lembaga seperti Musium Adityawarman dan Fakultas Sastra Unand sendiri.
Selain penelitian itu, masih ada penelitian lainnya seperti yang dilakukan Rusydi Ramli (Fak. Adab IAIN Imam Bonjol) dengan tema Identifikasi Awal naskah-naskah Kuno Sumatera Barat dan beberapa tulisan dalam jurnal-jurnal Filologi tentang keberadaan naskah-naskah di Sumatera Barat. Dari hasil catatan-catatan yang ada itu diperoleh gambaran banyaknya naskah-naskah kuno keagamaan di Sumatera Barat, masih banyak lagi naskah-naskah yang belum dijamah oleh tangan-tangan filolog dan masih berada ditangan masyarakat. Contohnya, naskah-naskah kuno Islam yang ditemui oleh Tim Pusat Studi Naskah (Mahasiswa Sastra Arab) di Rao Kabupaten Pasaman (Maret, 2009), setidaknya menemui 32 manuskrip kuno yang langka setelah puluhan tahun tidak dijamah oleh tangan manusia; dan di Bonjol, dengan menemui 17 manuskrip kepunyaan Alm. Syekh Muhammad Sa’id Bonjol (Desember 2009). ). Hal ini menguatkan indikasi masih banyaknya naskah-naskah yang luput dari pengamatan dan masih berada di tangan masyarakat.
Oleh karenanya pada tangal 10-17 November 2010, kami dari Tim Peneliti telah menelusuri sentra Naskah-naskah di Sumatera Barat, tepatnya untuk menelusuri naskah yang berkaitan dengan penelitian ini. Banyak sedikitnya dari naskah-naskah tersebut telah diselamatkan dengan baik oleh Tim.

B. Naskah-naskah Sungai Pagu
Setelah melakukan penelusuran Lapangan ke sentra-sentra Islam di Sungai Pagu masa lalu di berbagai daerah, maka didapati keadaan dan keberadaan Naskah-naskah kuno dan Ulama pemangkunya di beberapa daerah antara lain, antara lain di:

1. Padang Aro
Padang Aro, sebuah kawasan yang terlihat makmur dengan keramaian, menyiratkan potensi keagamaan yang masih kokok, dimana di daerah ini masih ditemui bukti-bukti nyata akan hal tersebut. Di daerah ini, sebagaimana yang diperoleh oleh Tim di lapangan, pernah terdapat beberapa pusat pendidikan Islam tradisional dalam bentuk surau. Maka dari beberapa surau tersebut, ada satu yang paling menonjol dan memiliki dedikasi keilmuan yang memang terbilang dalam ahli-ahli sejarah oral di daerah ini. Adapun pusat pendidikan Islam Tradisional itu berada di Sampu, kawasan sejuk yang cukup asri dalam kacamata kekotaan. Surau sampu ini pernah memainkan peranan penting dalam revalitasi masyarakat yang Islam, tak tercatat lagi berapa banyak orang-orang siak yang datang mengaji ke daerah ini, tak terbilang pula berapa murid-murid alumni pendidikan ini yang menjadi ulama ternama pula di kemudian hari. Maka untuk hal transmisi keilmuan Islam di Padang Aro, umumnya di Solok Selatan, posisi Surau Sampu tak terpungkiri lagi membawa pengaruh yang luar biasa. Hingga sekarang, meski yang tinggal hanya sejarahnya saja, masa kejayaan Surau Sampu masih menjadi Buah bibir bagi banyak orang.
Layaknya sebuah lembaga pendidikan tradisional yang terpandang, tentulah Surau Sampu memiliki seorang tokoh kharismatik yang memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan tersebut. Jika berbicara mengenai tokoh besar itu, yang menjadi panutan tersebut, maka tak lain ialah ulama besar Syekh Muhammad ‘Arif (w. 1961) yang masyhur dengan gelar Syekh Sampu. Dengan seorang tokoh inilah pembelajaran Islam di Sampu dapat mencapai titik kejayaan, surau Sampu kemudian dapat mengundang orang-orang mengaji untuk datang ke Sampu, berkhitmat kepada ulama-nya yang terkemuka, Syekh Sampu.
Syekh Sampu memiliki kharisma yang berbekas pada masyarakat banyak, hal ini sangat didukung oleh dedikasi keilmuannya yang komplit. Beliau seorang ahli fiqih yang mumpuni, mahir mengaji kitab. Beliau juga seorang ushuliyyin, beliau pun terbilang Sufi yang masyhur dengan pengajaran Tarikat Samaniyah. Tak pelak lagi dimensi keilmuannya tersebutlah yang membuat surau Sampu tenar hingga saat ini.
Beliau pernah berjibaku menuntut ilmu di Mekkah al-Mukarramah, pernah bersufaha dengan ulama-ulama Minang lainnya di tanah Haram tersebut. Hal ini semakin memantapkan posisinya selaku ulama Besar di Solok Selatan.
Sebagai ulama tua yang alim terbilang tentunya beliau memiliki simpanan Bibliografi kitab-kitab klasik yang banyak, termasuk naskah. Hal ini diakui terus terang oleh anak beliau, ketika kami mengunjungi Surau Syekh Sampu. Namun amat disayangkan beberapa naskah-naskah tua itu telah raib, sebahagian dipinjam orang, sebahagian tak terawat hingga hancur dimakan usia, sebahagian lagi ada yang diserahkan kepada pihak Pesantera Malus, tapi tak ada yang tau kemana rimbanya naskah-naskah itu saat ini.
Menurut keterangan yang diperoleh Tim, setidaknya terdapat satu peti naskah yang masih tersisa setelah Syekh Sampu meninggal. Begitupula ada beberapa naskah yang disimpan diatas pagu kala itu. Namun karena tidak adanya usaha perawatan saat itu, anak-anak Syekh tersebut tiada mewarisi keahlian ayahnya membaca Arab gundul, kitab-kitab tersebut telah terabaikan, hingga sekarang hilang jejak.


Foto : Tim berada di Makam Syekh Muh. ‘Arif (Syekh Sampu)

2. Bidar Dalam
Bidar Dalam, daerah bersejarah, tempat bersembunyinya Mr. Syafruddin Prawira Negara dulunya ketika pergolakan daerah (PRRI) di era 50-an itu. Kini telah berkembang menjadi satu kawasan yang ramai, tiada menyisakan bekas perang masa lalu. Rumah-rumah mewah yang tegak berdiri sekeliling jalan, menjadi petanda makmur sentosanya masyarakat.
Namun siapa sangka, daerah yang dulu merupakan pusat perang itu, pernah menjadi gudang-nya para malin, suluh bendang nagari. Di sini pernah bermukim beberapa ulama hasil dari didikan Surau Sampu, mengembangkan sayap pengajaran Islam ke masyarakat banyak. Tak disangkal bahwa Bidar Dalam juga merupakan lumbung naskah-naskah kegamaan.
Setelah Tim mengadakan penelusuran yang intens di tengah-tengah masyarakat Bidar Dalam, diketahui, kebanyakan naskah-naskah tersebut telah banyak yang raib. Sebabnya sangat lumrah sekali, pertama dicuri semasa perang, kedua dibakar pemiliknya, karena generasi setelah ulama-ulama terkemuka tersebut buta dengan huruf Arab, buta dengan bahasa Arab.

3. Sungai Pagu
Tepatnya Alam Surambi Sungai Pagu, tercatat merpakan pusat kebudayaan Minang dan pusat Islam terkemuka di Minangkabau. Di daerah ini pernah bermukim ulama-ulama besar yang namanya tetap harum hingga sekarang, menorehkan tinta emas dalam perjuangan kaum agama di Sumatera Barat.
Disebut sebagai Alam Surambi, karena Sungai Pagu merupakan Serambi Alam Minangkabau, di sana pernah berkedudukan datuk-datuk pemangku adat yang besar bertuah, serpih belahan zuriyyat raja-raja Pagaruyung. Bekas dari kejayaan adat lama pusako usang itu masih tampak jelas, yaitu berderetnya ribuan rumah gadang, dengan arsitek Minang yang sangat unik dan menawan. Siapa yang memasuki wilayah ini tentu terkesima dengan rumah gadang, berukir ganggo cino, condong tanda kokoh, ribuan banyaknya. Inilah gambaran Minang masa dahulu, dizaman emasnya. Rumah gadang sembilan ruang yang kokoh menyiratkan rakyat yang hidup makmur sejahtera. Gemah ripah loh jinawi
Selain rumah gadang tanda adat yang kuat berakar, tentunya adat nan kawi, syara’ nan lazim terkedepan sangat di Sungai pagu. Islam menjadi tumpuan adat yang sebenar-benarnya. Beberapa bukti arkeologis membuktikan hal tersebut. Tepatnya dikampung di masyhur dinamai negeri “seribu rumah gadang” berdiri semua mesjid batu, gonjong menjulang kelangit, tampat tegar mesti usianya sudah tua. Itulah salah satu bukti kejayaan Islam tersebut.
Selain dari itu, di sini, di Sungai Pagu pernah hadir ulama-ulama besar yang terkemuka, yang terkenal dengan lembaga pendidikan tradisionalnya hingga berbagai penjuru Minangkabau. Diantara ulama ulama Sufi yang terkemuka tersebut ialah :


Syekh Maulana Sufi (wafat awal abad 19)
Beliau dianggap sebagai penyebar agama Islam di Sungai Pagu. Salah satu peninggalannya ialah Mesjid Enam puluh kurang Aso, sebuah mesjid yang sangat unik dan diselubungi dengan keanehan-keanehan. Mesjid tersebut sesuai namanya terdiri atas enam puluh kurang satu tonggak kayu ( yang berarti 59), namun bila dihitung dengan seksama maka setiap kali dihitung hasilnya pasti akan berbeda-beda, entah apapula keanehannya yang lain.
Sebagai seorang tokoh ulama tertua yang masih dapat dicatat, pastinya bukan hanya mesjid itulah peninggalan beliau, diyakini ada beberapa kertas tua yang turut menjadi warisan bagi kita semua. Namun penelusuran Tim ke Surau beliau belum mampu menuahkan hasil.

Foto : Tim berada di salah satu mesjid tertua di Sungai Pagu

Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu (w. 1901)
Salah seorang tokoh ulama atas jalus Tarikat Naqsyabandiyah, mempunyai murid-murid yang luar biasa. Dialah Maulana Syekh Mustafa. Di Suraunya, yang sekarang terletak di tengah-tengah pemukiman seribu rumah gadang tersebut, nampak jelas peranannya selaku surau yang berdedikasi luas menyebarkan keilmuan Islam di Belahan selatan Minangkabau tersebut. Surau itu bernama surau menara, walau sudah dipugar entah berapa kali, namun surau itu masih menyiratkan keklasikannya.
Diantara murid-murid Syekh Muftafa al-Khalidi yang kemudian menjadi ulama besar yang terkemuka di Minangkabau ialah Syekh Muhammad Dalil Bayang (Syekh Bayang) dan Syekh Khatib Muhammad ‘Ali Padang.
Menurut keterangan yang diperoleh Tim sewaktu menelusuri surau Menara tersebut, tepatnya keterangan cucu dari cucu beliau, Syekh Muftafa bukan hanya meninggalkan Surau sebagai buah warisannya, tapi juga meninggalkan beberapa buah manuskrip tua, yang dikenalnya hanya kitab Tufah saja. Namun sejak pergolakan daerah pada tahun 50-an, kitab-kitab tersebut mengalami nasib yang sama dengan yang dialami tempat-tempat lain di Sumatera Barat. Hilang tanpa jejak.

Foto : Surau Menara, tempat aktifitas Syekh Mustafa al-Khalidi

Syekh Khatib ‘Ali al-Fadani (w. 1939)
Beliau merupakan seorang Murid Syekh Muftafa al-Khalidi yang cemerlang dan terkemuka di Minangkabau. Beliau merupakan salah seorang pemimpin ulama-ulama tua Minangkabau yang kharismatik. Seorang penulis dan penyair yang lahir di Muara Labuh, dan kemudian memapankan karirnya di Padang. Banyak sekali karangan beliau. Diantaranya yang terkemuka yaitu kitab Burhanul Haq, risalah yang bertujuan mempertahankan Mazhab Syafi’i dan Tarikat Naqsyabandiyah di Minangkabau.
Dalam menelusuri, Tim tidak menemui satupun peninggalan beliau yang dapat ditemui di kampung halamannya sungai pagi. Peninggalannya banyak di Parak Gadang Padang, namun di masa pergolakan telah diobrak abrik orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Buya H. Muhammad Ridhwan Sungai Pagu (w. 1982)
Salah seorang ulama pewaris keilmuan ulama-ulama tua, itulah beliau Buya Muhammad Ridhan (w. 1982) yang secara adat bergelar Datuk Tum Bijo. Beliau ini pernah menimba ilmu kepada Syekh Khatib ‘Ali di Parak Gadang dan Candung. Kemudian mendirikan sebuah surau di Jembatan Kuning, Koto Baru Sungai Pagu. Beliau terkenal sebagai ahli Tarikat yang Mumpuni. Kalau orang mengibaratkan menyuruk di lalang sehelai sebagai sebuah kemustahilan, tapi bagi beliau menyuruk di lalang sehelai adalah kenyataan, begitulah keramatnya tokoh yang satu ini.
Sebagai murid dari tokoh-tokoh tua tersebut, Buya H. Muhammad Ridhwan mempunyai simpanan karya-karya Syekh Khatib ‘Ali yang langka itu agak lengkap. Untuk yang satu ini telah diinventarisasi oleh Prof. Sanusi Latief pada tahun 1984. adapula Buya Muhammad Ridhwan ini yang menulis karangan-karangan yang berbentuk Manuskrip, maka di sinilah Tim memainkan peranan untuk menginventarisirnya. Tercatat 14 manuskrip yang dapat diselamatkan oleh Tim di sini. (dilampirkan dalam bentuk copian).


Foto : Penulis dan Tim serta pemilik naskah Buya Muhammad Ridwan Sungai Pagu

Foto : Penulis dan Tim Sibuk mendeskripsikan naskah Buya Muh. Ridhwan Sungai Pagu