Senin, 21 Oktober 2013

Pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau adalah Pembela “Qunut Subuh” dan “Jahar Bismillah”

Oleh: Hamba yang Dha’if; yang karam dalam taqshir Apria Putra
Tulisan ini berdasarkan kitab “al-Syir’ah fi al-Radd ‘ala man Qala al-Qunut…” (1938), buku “Ayahku” dan “Islam dan Adat Minangkabau” (Hamka), buku-buku lainnya, dan kesaksian mata Abuya H.Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno dan Abuya Drs.H. Abdul Jalal.

Minangkabau (baca: Sumatera Barat) ialah daerah pijakan Muhammadiyah periode awal diluar Jawa. Beberapa disertasi dan tesis mengenai Muhammadiyah di Minangkabau telah ditulis, diantaranya yang populer Dr. Alfian dengan judul terjemahannya: “Politik Modernism Muhammadiyah di Indonesia” (Cornell University), yang fokus penelitiannya ialah Minangkabau, selain Yogyakarta.

Di daerah ini, Minangkabau, organisasi modernis Muhammadiyah cukup berkembang disokong oleh ulama-ulama yang tergolong kepada “Kaum Muda” ketika itu. Ulama-ulama dari Kaum Muda telah menguatkan pengaruh sekitar tahun 1906, diwaktu sebagian ulama mendapat pengaruh Majalah al-Urwatul Wusqa (yang dipimpin Jamaluddin al-Afghani) dan al-Manar (diasuh oleh Rasyid Ridha, Mesir). Salah seorang tokoh utama “Kaum Muda” di Minangkabau ialah Syekh Doktor fid Din Abdul Karim Amrullah (1879-1949), atau yang lebih dikenal dengan “Inyiak De-er” atau “Haji Rasul”, beliau ialah ayahanda dari Buya Hamka.

Buya Hamka dalam bukunya yang terkenal “Ayahku” menuliskan tentang awal mula Muhammadiyah masuk ke Minangkabau. Ketika itu ayahnya –Haji Rasul- melawat ke Yogyakarta, beliau bertemu dengan pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Sangat besar sambutan Kyai Ahmad Dahlan kepada Haji Rasul, sebab Majalah al-Moenir (terbitan Padang yang salah satu redaksinya ialah Haji Rasul) ternyata telah sampai ke Yogyakarya, dan majalah tersebut menyokong faham ulama-ulama Muhammadiyah. Apatah lagi, konon Kyai Ahmad Dahlan juga satu guru dengan Haji Rasul di Mekah, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916). Bertemulah kedua ulama ini dengan hangatnya; keduanya saling isi-mengisi, Haji Rasul memberikan ide-ide segar kepada Kyai Ahmad Dahlan, dan Kyai Ahmad Dahlan menitipkan Muhammadiyah kepada Haji Rasul.

Pada tahun 1925, menurut cacatan Buya Hamka, pulanglah Haji Rasul ke kampung halamannya Sungai Batang, Maninjau. Di Sungai Batang ini pertama sekali dibuka cabang Muhammadiyah untuk daerah Minangkabau. Dibentuk sebuah pengurus cabang yang diisi oleh murid-murid Haji Rasul, termasuk anak beliau, Buya Hamka, namun Haji Rasul tidak pernah tercatat menjadi anggota Muhammadiyah, meski beliau dalam muktamar-muktamar Muhammadiyah menjadi tetamu kehormatan, sederajat dengan Kyai Mas Mansur.

Meski digolongkan kepada “Kaum Muda”, dan menjadi pionirnya, dan bertindak sebagai pembawa “Muhammadiyah” ke Minangkabau, Haji Rasul tetap dalam pendiriannya. Pendiriannya dalam soal agama dituangkan dalam karya tulisnya, yang sampai saat ini baru ditemukan sebanyak 31 judul. Dari karya-karya ini kita bisa mengenal secara mendalam mengenai kepribadian dan pemikiran Haji Rasul sebenarnya, yang saat ini banyak disalahfahami oleh sebagian peneliti.

Salah satu karyanya yang cukup populer ialah “al-Syir’ah fi Radd ‘ala man Qala al-Qunut fi al-Shubh Bid’ah wa anna al-Jahr bi al-Basmallah Bid’ah aidhan” (Bukittinggi: Drukkerij Tsamaratul Ikhwan, 1938), yang secara sederhana judul ini bermakna: “al-Syir’ah (pengumuman) penolak orang yang mengatakan Qunut Subuh bid’ah dan menjaharkan Bismillah bid’ah.” Dalam karyanya ini Haji Rasul mengupas dalil-dalil, berupa hadis-hadis dan qaul Fuqaha mengenai Qunut Subuh dan menjaharkan Bismillah. Kesimpulannya Qunut Subuh tidak bid’ah, malah sebaliknya, Qunut Subuh ialah sunnat diamalkan. Begitu pula mengenai menjaharkan Bismillah dalam shalat Jahar (Shalat Maghrib, Isya dan Subuh berjama’ah) bukan merupakan Bid’ah, malah menjaharkan Bismillah disyari’atkan, terbentang dalam dalil-dalil yang sharih.


Foto: Kulit depan kitab "al-Syir'ah" karya Haji Rasul

Begitulah sosok ulama-ulama silam: baju boleh berupa-rupa warna, namun yang namanya prinsip pantang diubah, dianjak, digeser walau sedikitpun; mereka ialah ulama-ulama yang berprinsip dan teguh dalam prinsip tersebut sampai badan berkalang tanah. Begitu pula yang dipegang oleh generasi yang digolongkan kepada “ulama modernis” berikutnya, seperti Prof. Mahmud Yunus, Buya Hamka dan Buya MD Dt. Palimo Kayo. Saya mendapat kesaksian mata dari tokoh-tokoh yang pernah menyaksikan mereka ini. Dari Abuya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno (87 tahun), Pimpinan Madrasah al-Manar Batu Hampar Payakumbuh, saya mendapat kesaksian pandangan mata beliau, ketika Mahmud Yunus dan Buya Datuak Palimo Kayo ketika diundang ke Batu Hampar, mereka dijadikan imam shalat Subuh, dan mereka berqunut subuh. Begitu juga Buya Hamka, ketika mengimami shalat Subuh di Mesjid Taqwa Muhammadiyah Padang juga berqunut subuh. Hal ini diungkap oleh Abuya Drs. H. Abdul Jalal, dosen senior Ushul Fiqih dan Fiqih IAIN Imam Bonjol Padang.

Al-Fatihah.....
Rahimahumullah, semoga mereka –ulama besar Minangkabau itu- mendapat tempat yang selayak-layaknya di sisi Allah. Amin.


Ditulis di sisi Mesjid Jami’ Shalihin “Muhammadiyah” Padang Batang,
Diwaktu subuh, 17 Dzulhijjah 1434/ 22 Oktober 2013.
ditangan faqir yang berlumur dosa, Apria Putra.